Idolaku Ya Kakakku
Di sebuah aula sekolah sedang diadakan pertandingan bola basket antar SMA se-Jakarta. Penonton pun senantiasa bersorak-sorak.
“Kak Rafi! Ayo kak!!
Jangan menyerah ya!?”, seru Sasi, salah seorang dari ribuan penonton yang
sedang menyemangati kakaknya itu.
Mendengar seruan adiknya, Rafi pun menoleh dan tersenyum pada Sasi. Sasi
pun terpesona dengan senyuman kakaknya itu. Mulutnya menganga bak gawang yang
ingin kebobolan bola.
Kak Rafi senyum sama aku!? tanya Sasi dalam hatinya.
“Duar!! Kok bengong aja
sich?”, kaget Raya, dambaan hati Rafi.
“Eh, kak Raya!!”
“Ayo Rafi!! Semangat ya?!”, seru Raya.
Sasi melirik sinis wajah Raya yang sedang memberi suport
pada Rafi. Rafi pun melambaikan tangan ke arah dambaan hatinya itu.
Hu’uh!! Ngapain sich, kak Raya ngasih semangat buat kak
Rafik ?! Kak Rafi kan, kakak aku! Mana kak Rafi pakai acara ngelambain tangan
ke kak Raya segala lagi!!
gerutu Sasi dalam hatinya.
Pertandingan pun
usailah sudah. Dengan skor yang cukup tinggi, tim basket sekolah Rafi
memenangkan pertandingan tersebut. Pendukung tim basket itu pun bersorak-sorak
kegirangan, saking girangnya, Sasi berlari berlari
menuju ke arah Rafi dan tanpa berpikir panjang lagi, Sasi langsung mendekap erat tubuh six pack Rafi.
menuju ke arah Rafi dan tanpa berpikir panjang lagi, Sasi langsung mendekap erat tubuh six pack Rafi.
Aku kan adiknya kak Rafi, walau aku cuma adik tiri sich .
. . tapikan aku boleh dong peluk dia!? Aku harus jadi orang pertama yang kasih
ucapan selamat buat
dia!! kata Sasi dalam hati.
“Selamat ya, Kak!?”.
Raya yang melihatnya, merasa agak iri dan cemburu. Karena merasa tidak enak
dengan Raya, Rafi pun melepaskan dekapan Sasi.
“Selamat ya, Fi!?”, ucap
Raya seraya mengulurkan tangan manisnya.
“Makasih ya, Ray . . . Oia
Ray, karena aku udah menang lomba ini, aku mau traktir kamu makan di kafe
favourit kamu, kamu maukan??”, ajak Rafi.
“Dengan senang hati . .
.”, sahut Raya menerima ajakan kekasih hatinya itu.
Aku nggak boleh ngebiarin mereka berdua-duaan di kafe!!
aku harus ajak kak Rafi pulang!! ucap Sasi dalam hati.
“Kak! Kata mama, kalau
udah selesai lomba, kita harus langsung pulang ke rumah!! Kakak harus bagi-bagi
kemenangan ini sama mama dan papa! Mama pasti udah masakin masakan yang enak
buat kita!!”, jelas Sasi dengan berbagai macam alasan.
“Tapi, Sas! . . .”
“Udahlah Raf! Mendingan
kamu ngerayain kemenangan ini sama keluarga kamu aja! Traktir aku nya
kapan-kapan aja, kita masih punya banyak waktu kan?!”, sela Raya dengan penuh
perhatian.
“Okey dech . Oia, kamu mau
aku antar pulang?”.
“Enggak usah kak, nanti
aku sama siapa? Suruh nunggu di sini dulu gitu!?”, sela Sasi agak kesal.
“Enggak usah Fi, aku
pulang sama Voni aja. Kasian kalau Sasi disuruh nunggu di sini”.
“Ya udah, aku pulang dulu
ya Ray . . . ?!”, pamit Rafi.
Raya hanya menjawabnya dengan senyuman manis khasnya.
“Da dah Kak Raya!!”, kata
Sasi seraya melambaikan tangan.
Kakak beradik itu pun pergi meninggalkan aula. Sasi dibonceng oleh Rafi
dengan sepeda motornya. Sasi pun dengan senantiasanya melingkarkan kedua
tangannya ke perut Rafi.
Sebenarnya Rafi agak risih, tapi mau bagaimana lagi, toh Sasi adalah
adiknya, walau adik cuma adik tiri sich. Sekitar pukul 18.00 WIB, mereka pun
sampai di kediaman mereka. Mereka langsung masuk ke kamar mereka masing-masing,
mandi, dan melaksanakan ibadah shalat Maghrib. Selesainya dari shalat Maghrib,
Sasi duduk de ranjang dan mengambil bingkai foto yang terdapat foto Rafi dari
laci meja belajarnya.
“Kak Rafi emang keren
abisss . . .”, kagum Sasi sembil memandangi foto kakak tirinya itu.
Sudang hampir setengah jam Sasi berkhayal dengan foto kakak tirinya itu.
Saatnya makan malam. Sasi keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga untuk
menuju ke ruang makan. Makan malam adalah saat-saat yang paling dinanti oelh
Sasi karena ia bisa duduk berseberangan denga Rafi dan menatap puas paras
tampan milik Rafi.
“Kak Rafi menang lomba lho
Ma, Pa!!”, kata Sasi membuka acara makan malamnya.
“Selamat ya, Fi . . . “,
ucap mama dan papa secara bersamaan.
“Ini berkat dukungan Sasi
juga lho!! Gara-gara teriak-teriak buat ngedukung kak Rafi, suara Sasi jadi
kayak kodok ngorek, hehehe . . . Kok, Kakak ngga ngucapin makasih sama aku
sich?!”, kata Sasi dengan PDnya.
“Iya dech , makasih ya
Sas?!”, ucap Rafi seraya memberantaki rambut Sasi.
Hah! Kak Rafi megang rambut aku?! kata Sasi dalam hati sambil senyam-senyum
sendirian.
Papa dan mama hanya tersenyum melihat keakraban anak-anak mereka.
Sehabis makan malam, Sasi merasa ngantuk dan lengsung ke kamarnya. Mungkin
karena kelelahan, jadi dia tidurnya agak dipercepat dech. Sebelum tidur,
terlebih dahulu ia mengerjakan shalat Isya. Seperti biasanya, ia tidur dengan
memeluk foto Rafi.
“Sas! Sasi! Kamu udah
tidur ya? Kakak mau pinjem komik baru kamu dong!!”, seru Rafi.
Dengan tak sengaja, Rafi membuka pintu kamar Sasi yang kebetulan tidak
terkunci.
“Kamu udah tidur toh . . .
!? Pantesan, dipanggil enggak nyaut-nyaut. Kok, pintunya enggak dikunci
sich?!?”.
Rafi melihat Sasi sedang memeluk bingkai foto. Dikiranya, foto yang ada di
bingkai itu tak lain adalah foto almarhumah ibunda Sasi.
“Sasi . . . pasti kamu
kangen banget ya sama mama kamu?! Sas, kamu jangan pernah sedih ya? Dan jangan pernah mengira kalau kamu akan kehabisan kasih sayang
dari seorang ibu karena kakak dan mama kakak akan kasih kebahagiaan yang lebih
buat kamu. Walau terkadang, kamu hadir saat kakak dan Raya lagi bersama, tapi
kakak tetap seyang sama kamu! Kakak senang punya adik seperti kamu! Adik yang
selalu ceria!”, kata Rafi seraya menatap Sasi yang tertidur lelap.
Kemuadian, Rafi pun mengambil bingkai dari pelukan Sasi untuk diletakan di
atas meja. Saat melihat foto itu, Rafi terkejut dan heran.
“Astaghfirullahuladzim . .
. !! Kok, foto aku sich??! Enggak mungkin! Sasi enggak mungkin suka sama aku!
Dia cuma boleh anggap aku sebagai kaka! Enggak lebih!”, kaget Rafi.
Rafi langsung keluar dari kamar Sasi dan masuk ke kamarnya yang kebetulan
berdampingan dengan kamar Sasi. Lalu, dia membaringkan tubuhnya ke atas
ranjang.
“Dia enggak boleh suka
sama aku! Soalnya, biar bagaimana pun, kita itu kakak beradik. Dia emang bukan
adik kandungku , tapi aku udah anggap dia seperti adik kandung aku . . .”, kata
Rafi tak bisa berhenti memikirkan hal itu.
Pagi harinya, Sasi terbangun dari tidurnya yang lelap dan merasa keheranan,
mengapa bingkai foto yang berisi foto Rafi sudah tidak di pelukannya lagi???
“Siapa yang naro bingkai
ini di meja? Jangan-jangan!!?? Kak Rafi!? Enggak! Enggak mungkin kak Rafi! Palingan
jugabi Ami”, tanya dan jawab Sasi sendiri.
Tanpa pikir panjang, Sasi pun langsung ke kamar mandi. Selesai dari mandi
dan berhias, ia keluar kamar dan sarapan pagi bersama keluarganya. Sasi duduk
dan melihat ke sekelilingnya.
“Kak Rafi mana Ma?? Biasanya
dia udah nongkrong di sini duluan”, tanya Sasi.
“Dia udah berangkat.
Katanya ada pendalaman materi pagi. Sasi diantar papa aja ya . . . ?!?”, jawab
mama.
“Pendalaman materi?? Pendalaman materinyakan cuma hari
Jumat dan Sabtu.
E . . . e . . . mungkin ada jadwal baru kali ya??”, kata Sasi bingung
sendiri.
“Iya Sas, tadi sich Rafi
bilang kayak gitu sama mama”.
Usai sarapan, Sasi berangkat sekolah dan diantar oleh papanya. Saat jam
pelajaran dimulai dan pelajaran pertama adalah matematika, Sasi bukannya
memperhatikan penjelasan gurunya, malah ia dengan asyiknya memandangi foto Rafi
yang selalu dibawanya di dalam dompetnya.
“Sas! Ngapain sich kamu
ngeliatin foto kak Rafi terus?! Padahal tiap harikan kamu udah liat! Tiap detik
malah”, kaget Vina, teman sebangku Sasi.
“Kak Rafi kan idolaku!!
Aku kan masih suka sama dia Vin. Dia keren banget ya, Vin??”, sahut Sasi seraya
mengelus-elus foto dipegangnya.
“Jangan gila dong Sas!?
Dia tuh udah jadi kakak kamu! Walau Cuma kakak tiri, tapi tetap aja dia itu
kakak kamu!!”, nasehat Vina.
“Udahlah enggak usah
dibahas!! Nanti malah diomelin sama bu Maya. Dah, fotonya mau aku taruh lagi.
Nanti, kamu malah jadi suka sama my idol !!”, kata Sasi mengalihkan
pembicaraan Vina.
“Dasar Sasi !!!”.
Sudah delapan jam, Sasi berada di sekolah. Sekarang, saatnya untuk kembali
pulang. Sasi berlari menuju kelas Rafi. Rafi pun sudah berdiri di depan pintu
kelasnya.
“Kita pulang yuk, Kak!?”,
ajak Sasi.
“Kakak mau ngerjain tugas
kelompok sama teman-teman, Sas! Kamu pulang duluan aja ya?! Kamu bisa naik
taksi kan?”, tolak Rafi.
“Sama kak Raya belajar
kelompoknya??!!”, tanya Sasi melihat Raya yang baru keluar dari dalam kelasnya.
“Iya”.
“Ya udah dech, aku pulang
dulu ya Kak!?”, pamit Sasi.
Dengan berat hati dan rasa kecewanya. Sasi pergi dari hadapan Rafi.
Maafin Kakak ya, Sas!? Kakak terpaksa bohong sama kamu.
Kakak enggak mau buat kamu semakin jatuh hati sama Kakak. Walau Kakak, masih
belum tahu pasti kalau kamu itu suka sama aku atau enggak . . . ?? ujar Rafi dalam
hati.
Sebelum pulang ke rumah, Sasi mampir dulu ke Gramedia, kebetulan sedang ada
diskon 50 %. Biasa, dia mau beli komik untuk menyalurkan hobi membacanya di
rumah nanti. Di tangannya sudah membawa lima komik seri misterius. Tiba-tiba,
mulutnya menganga lebar, mata indahnya pun terbelalak saat melihat sang
idolanya sedang bercanda ria dengan seorang wanita. Sasi pun menghampirinya
dengan air mata yang mulai tercurah ke bumi.
“Ooohh . . . jadi belajar
kelompoknya di sini toh?! Cuma berdua pula!! Habis dari sini mau ke mana lagi??
Pasti ke kafe, terus ke taman, ya kan?!!”, sindir Sasi.
“Sas, maafin kakak Sas!?
Kakak enggak bermaksud buat ngebohongin kamu! Kakak bisa jelasin masalahnya,
Sas!!”, jelas Rafi.
Raya hanya terdiam. Dia bingung dengan apa yang sedang terjadi. Raya kira,
Rafi sudah izin kepada Sasi.
“Udahlah! Enggak usah
dijelasin segala! Tanpa kakak jelasin, aku juga udah tahu kok, Kak!! Kakak
enggak mau dekat-dekat sama aku lagi kan?! Soalnya kakak lebih milih jalan sama
dambatan hati kakak yang satu ini! Ya kan!!??”, bentak Sasi.
“Bukan kayak gitu Sas!
Kamu suka sama kakak kan?? Tiap mau tidur, kamu selalu memeluk foto kakak,
kan?? Kakak cuma berusaha menghindar dari kamu supaya kamu enggak teru-terusan
suka sama kakak!! Karena kamu adalah adik kakak!!”, terang Rafi menjelaskan
semuanya.
“Udahlah Kak!! Enggak usah
diterusin! Aku mau pulang! Capek! Permisi!!”, kata Sasi, lalu meletakkan komik
yang dibawanya di atas rak dan lekas menghilangkan jejaknya dari hadapan Rafi
dan Raya.
Rafi merasa bersalah, tapi ia bingung harus berbuat apa. Karena merasa
bingung ingin mencurahkan masalahnya itu kepada siapa, ia pun mencurahkannya
pada Raya. Dan Raya bisa memaklumi semua itu.
“Fi, awalnya aku juga udah
nebak, kalau Sasi itu suka sama kamu. Dia perhatian banget sama kamu. Aku juga
ngeliat api cemburu dia kalau kita lagi bercanda”.
“Aku harus gimana Ray?”.
“Temuin dia. Selesain
masalah ini sama dia ya!? Sasi itu kan adik tiri kamu dan kamu juga udah anggap
dia sebagai adik kandung kamu sendiri, pasti dia ngerti sama kondisi kalian
saat ini. Kalau di antara kalian enggak boleh ada hubungan yang spesial kecuali
hubungan persaudaraan. Sasi pasti ngerti kok”, nasehat Raya sambil tersenyum
kepada Rafi.
“Makasih ya, Ray!? Aku
berunrung punya pacar kayak kamu. Kamu selalu bisa ngertiin aku dan Sasi. Kamu
enggak pernah ngedumel tentang Sasi. Padahal, dia kan suka ngegagalan acara
kita”, sahut Rafi membalas senyuman Raya.
“Kalau aku sayang sama
kamu, aku juga harus sayang sama keluarga kamu. Lagi pula, masa sich aku harus
marah sama Sasi. Biar bagaimanapun kan, Sasi enggak pernah nunjukin kalau dia
itu sebel sama aku”.
Rafi menatap dalam mata kekasih hatinya itu dan menggenggam tangan mulus
Raya.
Rafi beruntung mempunyai kekasih hati seperti Raya. Rafi pun segera pulang
untuk menemui Sasi. Sebelum masuk ke dalam rumah, Rafi masuk melalui pintu
belakang, ia melihat Sasi yang sedang duduk terpaku di tepi kolam renang yang
terletak di halaman belakang rumahnya. Rafi duduk mendampingi Sasi dan membuka
suasana yang hening.
“Sasi . . . maafin kakak,
ya? Jawabyang jujur ya!? Apa kamu benaran menaruh perasaan cinta untuk kakak?”.
“Kakak enggak perlu minta
maaf! Seharusnya, Sasi yang minta maaf sama kakak. Iya!! Dari SMP sampai
sekarang pun, Sasi masih suka sama kakak! Dan aku, hanya bisa memendam perasaan
ini sendirian kak! Karena saat ini sampai kapanpun, kakak udah dan akan menjadi
kakak aku untuk selamanya. Tapi, aku enggak bisa ngilangin perasaan aku yang
satu ini, kak! Kadang aku cemburu kalau ngeliat kakak sama kak Raya!”, jujur
Sasi.
“Makasih, kamu udah jujur
sama kakak. Sas! Walau kamu baru jadi adik kakak selama dua tahun, tapi kakak
sayang sama kamu seperti adik kandung kakak sendiri. Kakak enggak pernah anggap
kamu sebagai adik tiri. Sas, kakak mohon, anggap kakak sebagai kakak kandung
kamu, sehingga perasaan cinta kamu itu sirna! Kakak enggak ingin membuat kamu
sakit hati karena kakak dekat dengan kak Raya. Sekali lagi, tolong anggap aku
sebagai kakak kandung kamu!”, pinta Rafi.
“Satu lagi! Persaudaraan
itu lebih erat hubungannya dibandingkan kalau kita pacaran! Dengan adanya tali
persaudaraan ini, kita bisa memiliki satu sama lain untuk selamanya, kalau
pacarankan, kita bisa putus, terus marah-marahan, akhirnya bisa dendam, terus
pergi ke dukun buat nyantet si dia supaya sakit hati kita bisa terbalaskan.
Hehehehehehehehehe!!!”, tambah dan celetuk Rafi.
“Akh, kakak bisa aja
sich!? Iya dech, aku akan anggap kak Rafi sebagai kakak kandung aku sendiri.
Dan kak Raya . . . sebagai kakak ipar aku! Hehehehehe . . . .”, balas Sasi.
“Kok, pakai bawa-bawa nama
aku sich?!”, kaget Raya hadir di tengah-tengah Rafi dan Sasi.
“Kak Raya!?!”, kata Sasi
terkejut.
“Kak, aku mau minta maaf
ya sama kakak. Karena selama ini, aku udah berusaha ngerebut cinta kak Rafi
dari kakak. Aku emang egois. Aku sadar, aku enggak akan pernah jadi dambaan
hati kak Rafi, tapi aku udah berhasil jadi adiknya. Aku pengen, kak Raya bisa
jadi pilihan hati kakaku yang terbaik!”.
“Siap bos!!”, sahut Raya
menyanggupinya.
“Tapi , , , ada tapinya
nich , , kalian berdua harus tetap ngizinin aku untuk mengidolakan kakakku
tercinta! Aku mengidolakan kak Rafi sebagai pemain basket terhandal plus
sebagai kakakku yang paling baik, bukan menjadikannya sebagai bintang
hatiku!!”, tambah Sasi.
“Tentu saja, Sas!!”, sahut
Rafi dan Raya serentak.
Rafi dan Raya pun saling berpandangan.
Mereka berdua emang cocok banget ya !? Mereka selalu
bikin aku iri, tapi aku kan udah janji, aku enggak boleh suka sama kak Rafi
karena dia adalah kakak aku sendiri untuk selamanya . . . ujar Sasi dalam hati seraya meneteskan air mata.
“Kamu kok nangis, Sas??”,
tanya Raya.
“Aku terharu kak, hhe . .
.”.
“Sas, kamu beneran, mau
jadiin kakak sebagai kakak kandung plus idola kamu?? Kakak beruntung banget
bisa punya adik kayak kamu!!”, kata Rafi memuji Sasi.
Sasi termenung sejenak dan mengejutkan sepasang kekasih yang sedang
menantikan jawabannya.
“Iya, Idolaku ya
kakakku!!!”, sahut Sasi dengan mantapnya.
Rafi pun memeluk erat tubuh Sasi dan Raya tersenyum lega karena masalah ini
dapat terselesaikan dan berakhir dengan bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar